Abu Sufyan Mengharap Perhatian Rasulullah Saw.
Ketika Rasulullah sampai di Juhfah, aku duduk di depan pintu rumahnya bersama anakku Ja'far yang sambil berdiri. Ketika Rasulullah melihatku, ia memalingkan wajahnya dariku.
Namun, aku tidak pernah putus asa untuk meminta keridhaannya, Setiap kali beliau tiba di sebuah rumah, saya akan duduk di depan pintunya dan Ja'far berdiri di sampingku, akan tetapi setiap kali Rasulullah melihatku, beliau selalu memalingkan wajahnya dariku.
Begitulah keadaanku selama beberapa waktu lamanya. Ketika aku berada pada situasi yang sangat sulit dan sempit, aku berkata kepada istriku, "Demi Allah, Rasulullah pasti akan meridhaiku atau akan akan menggandeng tangan anakku ini, lalu kita akan pergi tanpa tujuan di muka bumi ini sampai kita mati kelaparan dan kehausan."
Ketika berita itu sampai kepada Rasulullah, beliau kasihan kepadaku, dan mengutus seseorang untuk memanggilku. Saat beliau keluar dari kubahnya, beliau menatapku dengan pandangan yang lebih lembut daripada sebelumnya, dan aku berharap beliau tersenyum.
Kemudian saat Rasulullah memasuki Mekah, aku ikut dalam rombongannya, lalu beliau keluar menuju masjid, dan aku pun ikut bersama beliau, serta tidak akan pernah meninggalkannya dalam keadaan apapun.
Abu Sufyan Mendapatkan Ridha Rasulullah
Pada hari Hunain, suku-suku Arab berkumpul untuk melawan Nabi Muhammad Saw, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Mereka bersiap-siap untuk menghadapinya dengan persiapan yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Mereka bertekad untuk menjadikan pertempuran ini sebagai penentu nasib Islam dan umat Muslim.
Rasulullah Saw keluar untuk menghadapi mereka bersama sejumlah sahabatnya, dan aku juga ikut keluar bersama beliau. Ketika saya melihat kerumunan besar orang musyrik, saya berkata, "Demi Allah, hari ini saya akan menghapus segala permusuhan yang telah terjadi antara saya dengan Rasulullah. Rasulullah akan melihat tindakanku yang akan membuat Allah dan beliau ridha".
Ketika dua pasukan bertemu, tekanan dari orang musyrik terasa sangat kuat bagi umat Muslim, lalu rasa takut dan kegagalan merasuki hati mereka, dan menjadikan orang-orang mulai meninggalkan Nabi Saw, sehingga Kekalahan yang memalukan hampir menimpa kita.
Lalu, tiba-tiba Rasulullah -semoga ayah dan ibuku menjadi tebusan untuknya- berdiri gagah di tengah medan perang di atas kudanya yang berwarna merah seperti benteng yang kokoh. Beliau menarik pedangnya dan berjuang dengan gigih untuk melindungi dirinya dan orang yang di sekitarnya, laksana singa liar yang sedang melawan musuh.
Pada saat itu, aku meninggalkan kudaku dan melepaskan sarung pedangku. Demi Allah, saya ingin mati di depan Rasulullah Saw. Tetapi pamanku, Al-Abbas, memegang tali kendali kuda Rasulullah, berdiri di sampingnya....
Sementara itu, aku menempati posisi yang lain, dengan pedangku di tangan kanan untuk membela Rasulullah, sedangkan tangan kiriku menggenggam tali kendali kuda Rasulullah.
Ketika Nabi Saw melihat kebaikan perbuatanku, beliau bertanya kepada pamanku Al-Abbas, "Siapa orang ini?"
Al-Abbas menjawab, "Dia adalah saudaramu dan sepupumu, Abu Sufyan bin Al-Harith. Maka, maafkanlah dia, wahai Rasulullah".
Rasulullah menjawab, "Aku telah melakukannya, dan semoga Allah mengampuni setiap permusuhan yang pernah dia tunjukkan kepadaku".
Hatiku terasa penuh sukacita karena ridha Rasulullah terhadapku, dan aku mencium kaki beliau di tali kendali kudanya.
Kemudian beliau berpaling kepadaku dan berkata, "Wahai saudaraku, demi umurku, majulah dan seranglah".
Kata-kata Rasulullah membuat semangatku membara, dan aku menyerang orang-orang musyrik dengan semangat yang memaksa mereka keluar dari posisi mereka. Aku memimpin pasukan Muslim dan kami mengusir mereka sejauh 3 mil, dan kami memporak-porandakan barisan mereka di setiap arah.
Penyesalan Abu Sufyan bin Harits
Sejak peristiwa Hunain Abu Sufyan bin Al-Harits menikmati keindahan ridha Nabi Saw dan kebahagiaan dalam berinteraksi dengan Rasulullah. Tetapi, ia tidak pernah mengangkat pandangannya ke arah Rasulullah, tidak pernah menatap wajahnya karena malu dan merasa bersalah akan masa lalunya bersamanya.
Abu Sufyan merasa menyesal atas hari-hari hitam yang dihabiskannya dalam kejahiliahan yang menghalangi cahaya Allah darinya dan melarang dirinya dari Kitab-Nya. Oleh karena itu, ia terus menyibukkan dirinya dengan membaca Al-Quran baik malam ataupun siang, mengkaji hukum-hukumnya, dan merenungkan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya.
Ia menjauhkan diri dari dunia dan kemewahannya, dan memusatkan perhatian kepada Allah dengan seluruh jiwa dan raganya. Bahkan, pada suatu kesempatan, Rasulullah melihatnya masuk ke dalam masjid dan berkata kepada Aisyah, "Apakah engkau tahu siapa orang ini, Aisyah?"
Aisyah menjawab, "Tidak, wahai Rasulullah."
Beliau kemudian berkata, "Inilah sepupuku, Abu Sufyan bin Al-Harits. Perhatikanlah, ia adalah orang pertama yang masuk ke dalam masjid dan orang terakhir yang keluar dari sana, dan pandangannya tidak pernah berpisah dari tali sepatunya".
Kesedihan Abu Sufyan bin Harits
Ketika Rasulullah Saw meninggal dunia, Abu Sufyan bin Al-Harits sangat bersedih, seperti kesedihan seorang ibu yang kehilangan anak tunggalnya. Ia menangis dengan air mata seorang yang mencintai kekasihnya, dan mengungkapkan kesedihannya melalui bait-bait elegi yang penuh dengan rasa duka dan kepedihan, serta rasa penyesalan dalam tangisannya. Ia berkata:
أَرِقْتُ فَبَاتَ لَيْلِي لَا يَزُولُ # وَلَيْلُ أَخِي الْمُصِيبَةِ فِيهِ طُولُ
Malamku menjadi gelap tak berkesudahan, dan di malam itu kesedihan mendalam menimpa saudaraku.
وَأَسْعَدَنِي البُكَاءُ وَذَاكَ فِيمَا # أصيب الْمُسْلِمُونَ بِهِ قَلِيلُ
Namun tangisanku memberi kebahagiaan, karena penderitaan yang menimpa kaum Muslimin hanya sedikit
لَقَدْ عَظُمَتْ مُصِيبَتُنَا وَجَلَّتْ # عشيَّة قِيلَ قَدْ قُبِضَ الرَّسُولُ
Sungguh bencana kami sangat besar, saat malam datang bahwa Rasul telah tiada
وَأَضْحَتْ أَرْضُنَا مِمَّا عَرَاهَا # تَكَادُ بِهَا جَوَانِبُهَا تَمِيلُ
Bumi kami telah kehilangan cahaya yang menyinari, hampir saja sisi-sisinya mulai condong
فَقَدْنَا الوَحْيَ وَالتَّنْزِيلَ فِينَا # يَرُوحُ بِهِ وَيَغْدُو جِبْرَئِيلُ
Kami telah kehilangan wahyu dan apa yang diturunkan di antara kami, di mana Jibril yang dulu datang dan pergi
وَذَاكَ أَحَقُّ مَا سَالَتْ عَلَيْهِ # نُفُوسُ النَّاسِ أَوْ كَرِبَتْ تَسِيلُ
Dan air mata lebih pantas mengalir pada jiwa manusia karena kesedihan yang menjalar
نَبِيٌّ كَانَ يَجْلُو الشَّكَّ عَنَّا # بِمَا يُوحَى إِلَيْهِ وَمَا يَقُولُ
Dia adalah seorang Nabi yang menjernihkan keraguan dari kami dengan wahyu yang diberikan kepadanya dan apa yang dikatakannya
وَيَهْدِينَا فَلَا نَخْشَى ضَلَالاً # عَلَيْنَا وَالرَّسُولُ لَنَا دَلِيلُ
Dia memberi petunjuk kepada kami sehingga kami tidak takut tersesat, dialah Rasulu kami dan petunjuk kami
أَفَاطِمُ إِنْ جَزَعْتِ فَذَاكَ عُذْرٌ # وإِنْ لَمْ تَجْزَعِي ذَاكَ السَّبِيلُ
O Fatimah, jika kau merasa sedih, maka itu wajar, dan jika engkau tidak merasa sedih, maka itulah yang harus dilakukan
فَقَبْرُ أَبِيكِ سَيِّدُ كُلِّ قَبْرٍ # وَفِيهِ سَيْدُ النَّاسِ الرَّسُولُ
Kuburan ayahmu adalah tuan dari semua kuburan yang ada, di dalamnya terdapat pemimpin manusia, yaitu Rasulullah
Pada masa kekhilafahan Umar bin Khattab ra, Abu Sufyan merasakan bahwa ajalnya semakin dekat. Maka, ia menggali kuburannya sendiri dengan tangannya.
Tidak lebih dari tiga hari setelah itu, kematian mendatanginya seakan-akan sudah ditentukan waktunya. Ia memalingkan wajahnya kepada istrinya, anak-anaknya, dan keluarganya, lalu berkata, "Jangan menangisi kematianku, demi Allah, sejak aku memeluk Islam aku masih merasa bersalah".
Kemudian, roh suci Abu Sufyan pun pergi, lalu Umar bin Khattab ra. pun melaksanakan shalat jenazah untuknya dan merasa sangat sedih atas kehilangannya, begitu pula para sahabat yang mulia lainnya.
Mereka menganggap kematiannya sebagai kehilangan yang besar bagi Islam dan umatnya.
Wa Allahu 'alamu bi Shawab
Oleh: Umm_Chaera
Sumber:
Kitab 1, Shuwar min Hayatis Shahabah
Baca juga kisah sahabat teladan yang lain