Akidah: Memahami Qadha dan Qadar dengan Benar Sesuai Syariat Islam

Qadha dan Qadar

"Siapa yang tidak rida dengan qada-Ku dan qadar-Ku dan tidak sabar terhadap bencana yang Aku timpakan atasnya, maka baiklah ia mencari tuhan selain Aku." (HR. Thabrani)


Pendahuluan

Pembahasan kali ini adalah tentang Qadha dan Qadar, pembahasan yang mungkin terdengar biasa dan sederhana tapi di antara kita banyak dijumpai perbedaan pendapat, dan sering kali memunculkan perdebatan dan bahkan salah menempatkan, karena kaburnya pemahaman, padahal ia merupakan salah satu Rukun Iman yang harus kita Imani tanpa sedikit pun keraguan dan perbedaan.


Saya tidak ingingin membahas tentang ilmu kalam, yang memunculkan perseteruan sesama kaum muslim yang dipengaruhi oleh faham filsafat yang tidak bisa memisahkan mana wilayah Allah dan mana wilayah manusia, sebagaimana yang terjadi pada Mu'tazilah dan Jabariyyah, karena pembahasan ini akan mbulet lagi dan akhirnya persamaan yang ingin dicapai tidak terjadi.


Saya ingin mencoba menguraikan masalah yang tercampur sehingga memunculkan faham yang kabur seperti,

  1. Amal manusia, baik itu amal baik atau amal buruk apakah diciptakan atau tidak. Apakah manusia itu mempunyai pilihan atau tidak.
  2. Ilmu Allah yang mengetahui segala sesuatu.
  3. Irodah Allah terhadap amal manusia
  4. Lauhul Mahfudz yang mencatat ajal, rizki dan jodoh.
  5. Hubungan dari poin-poin di atas terhadap pahala dan dosa.

Sebelum kita memahami hubungan kelima poin di atas, maka kita harus memahami dulu posisi kita sebagai makhluk lemah dari sang Pencipta ini. 

Daerah di Luar Kendali Manusia

Area manusia hidup adalah area di mana manusia bisa menentukan amal dan nilainya, demi mewujudkan kehidupan manusia yang berkualitas.

Pertama, keberadaan kehidupan kita ada pada area yang tidak bisa kita kuasai, keberadaan kita di dunia ini, tanpa ada sedikit pun persetujuan terlebih dahulu dari kita apakah kita mau atau tidak  menjalani kehidupan ini, dilahirkan dari keluarga tertentu, dengan bentuk fisik yang sudah jadi tanpa melalui pemesanan terlebih dulu, dan lain sebagainya. 

Hal ini dinamakan "Andhimatul Wujud" atau sunnatullah, manusia dipaksa untuk menerima dan melakukan sesuai kehendak-Nya. Manusia tidak diberikan pilihan sedikit pun terhadap karya cipta sang Pencipta. Sehingga siapa saja yang mengubah hasil karyanya laknat Allah jatuh padanya. Dalam salah satu hadis disebutkan.

" Allah telah melaknat orang yang membuat tatto dan yang minta dibuatkan tatto, orang yang dicabut bulu mata dan yang minta dicabut bulu mata, dan orang yang merenggangkan gigi untuk kecantikan dengan merubah ciptaan-Nya" (HR Muslim)

Tidakkah laknat Allah itu menunjukkan kemarahanNya bagi siapa saja yang menganggap ciptaanNya tidak baik, tidak adil bahkan menganggap Allah tidak mengerti keinginan mahlukNya. Meskipun alasannya merawat tapi hakikatnya mengubah. Maka dia berhak mencari Tuhan lain selain Allah sebagaimana hadis di atas. 

Kedua, posisi manusia tidak berada pada wilayah "Andhimatul Wujud" atau sunnatullah, tetapi dia berada pada area yang mampu dia kuasai dan mampu memilih suatu perbuatan tertentu untuk dirinya, tetapi ternyata ada ativitas lain yang menimpa dirinya sehingga dia tidak bisa menghindar dari aktivitas tersebut, sehingga dia terpaksa harus menerimanya.

Sebagai contoh seorang yang hendak berburu binatang buruan, lalu senapan yang digunakan untuk menembak hewan buruan tersebut mengenai seorang pelajan kaki yang sedang mencari rizki, sehingga terjadilah kejadian yang tidak diinginkan. Syariat pun tidak membebankan qishash (hukuman serupa) terhadapnya hanya diyat bagi yang pelaku atau keridhaan dari pihak keluarga korban.

Contoh lain, seorang nelayan yang berlayar mencari ikan, kemudian saat dia menyebarkan jalanya, dia mendapatkan kerang berisi mutiara indah yang bernilai milyaran rupiah.

Pada kedua kondisi ini, manusia tidak berhak menilai bahwa aktivitas yang menimpanya adalah buruk atau baik, karena keduanya adalah hak otoritas sang Penguasa Jagat Raya ini, dan tidak ada sedikit pun intervensi manusia.

Dua kondisi inilah yang dinamakan Qadha, karena Allah-lah yang menentukan atau memutuskan, meskipun berdasarkan penilaian atau tafsiran manusia itu bermanfaat atau membahayakan, baik atau buruk, karena sejatinya yang mengetahui semua itu hanyalah Allah, akal manusia tak mampu menggapai tujuan kehendak Allah. Sehingga wajib bagi seorang muslim beriman kepada Qadha ini dari Allah SWT baik dan buruknya.

Adapun Qadar, adalah termasuk pada area yang tidak dapat dikuasai oleh manusia yang terjadi pada alam semesta, kehidupan dan manusia. Dengan kata lain Allah memberikan potensi yang dimiliki oleh ketiga hal tersebut (alam semesta, kehidupan, dan manusia).

Contoh pada alam semesta, kelahiran manusia, terbit dan terbenamnya matahari, siang dan malam dan lain-lain yang berkaitan dengan sunnatullah.

Kehidupan, biasanya berupa benda-benda yang digunakan untuk aktivitas kehidupan manusia, seperti: besi yang memiliki potensi untuk membuat alat-alat rumah tangga atau gedung-gedung, batu yang digunakan untuk pondasi rumah dan lain sebagainya.

Sedang Qadar pada manusia, adalah berupa potensi yang terdapat pada manusia yang sudah ditetapkan oleh Allah, biasanya kita sebut sebagai fitrah, dan fitrah ini diberikan sejak Nabi Adam diciptakan, di belahan bumi manapun manusia  tinggal pasti memiliki fitrah ini. Fitrah ini ada yang datang dari aktivitas tubuh manusia dan ada yang datang akibat rangsangan dari lingkungannya.

Fitrah yang pertama adalah datang dari aktivitas tubuh manusia seperti kebutuhan dasar manusia untuk hidup yaitu makan, minum, dan istirahat. Kebutuhan ini harus senantiasa dipenuhi meskipun tidak melakukan aktivitas apapun, karena kerja dari organ tubuh manusia tidak pernah berhenti.

Jika kebutuhan ini tidak dipenuhi, maka kematian adalah resikonya, sehingga syariat memberikan dispensasi bagi sebagian orang yang berada dalam kesulitan menemukan makanan halal untuk boleh mengkonsumsi yang haram demi untuk menyelawatkan nyawanya.

Sedangkan fitrah yang kedua adalah naluri-naluri manusia, seperti: naluri menyayangi dan mencintai, naluri eksistensi diri atau mempertahankan diri, dan naluri beragama. Ketiga naluri ini adalah datang akibat rangsangan dari luar atau lingkungannya, dan manusia tidak dapat menghilangkan ketiga naluri tersebut, tetapi manusia hanya mampu mengalihkan dari satu naluri ke naluri yang lain.

Potensi yang ada pada alam semesta, kehidupan dan manusia itu bukanlah amal, tetapi yang mempengaruhi perbuatan manusia. Baik dan buruk yang dihasilkan dari potensi yang ada tergantung dari pilihan-pilihan manusia. Sehingga manusia akan dihisab atau mempertanggungjawabkan atas pilihan-pilihan amalnya dalam menggunakan potensi-potensi tersebut.

Sehingga Allah memberikan akal kepada manusia sebagai alat untuk mempertimbangkan dan membedakan setiap perbuatan yang hendak dipilihnya apakah baik atau buruk, dan apaka sesuai dengan perintah dan laranganNya ataukah menyimpang dari perintah dan laranganNya.

Maka, disinilah letak posisi keimanan kepada Qadha dan Qadar itu. Manusia tidak ada andil sama sekali atas apa yang dia lakukan dan apa yang dia dapatkan, dan manusia tidak berhak menilai baik dan buruk karena keterbatasan akal dan kelemahan manusia. Semuanya adalah hak prerogatif sang Pencipta kepada mahlukNya yang tidak ada intervensi apapun dan siapapun atas kekuasaannya. Sehingga tidak ada pahala dan dosa, atau surga dan neraka, yang menjadi pertanggungjawaban manusia di akhirat.

Daerah di Bawah Kendali Manusia

Setelah kita membahas Qadha dan Qadar, yang merupakan wilayah sang Pencipta yang berkaitan dengan makhlukNya. Sekarang kita membahas tentang area yang dikendalikan manusia.

Pada daerah ini, manusia mampu menguasai keinginannya, mampu menentukan pilihan perbuatan yang disukai dan dikehendakinya, bebas memilih kapanpun dia mau melakukan dan meninggalkannya, baik perbuatan tersebut sesuai syariat atau bertentangan dengan syariat. 

Contoh, saat lapar dan haus, manusia bebas menentukan makanan dan minuman apa yang mau dikonsumsi. Seperti, nasi, roti, air putih, jus dan lain-lain.

Pada kondisi inilah manusia akan ditanya setiap pilihan-pilihan yang ditentukannya dan  mempertanggungjawabkan atas semua perbuatannya.

{ كُلُّ نَفۡسِۭ بِمَا كَسَبَتۡ رَهِینَةٌ }

"Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya[Surat Al-Muddatstsir: 38]

Setiap perbuatan manusia dan apapun masalah yang terjadi pada kehidupan manusia tidak lepas dari potensi yang ada di sekitar manusia. Seperti aktivitas ekonomi, sosial, politik dan lain-lain. Masalah-masalah yang terjadi pun tak lepas dari potensi yang Allah berikan, seperti: kelaparan, pergaulan bebas, perampokan dan lain-lain. 

Sehingga, benarlah Islam datang dari Rabb pencipta mahlukNya. Karena Dia lebih mengetahui hambanya dan mengetahui syariatnya mampu membuat kehidupan manusia sejahtera, dan memilihkan serta mengatur manusia dalam menggunakan potensi-potensi yang diberikanNya.

Sebagai contoh potensi manusia yaitu naluri mencintai dan menyayangi, naluri ini tidak bisa dihukumi baik atau buruk, tetapi saat manusia memberikan cintanya kepada orang tuanya, anaknya atau suaminya maka perbuatan tersebut adalah baik dan berpahala, tetapi ketika cintanya diberikan kepada orang asing yang tidak halal menurut syariat maka itu hal tersebut adalah buruk dan berdosa.

Bagaimana caranya mencegah rasa cinta agar tidak salah diberikan, maka syariat mengajarkan manusia untuk mengalihkan kepada peningkatan naluri beragama seperti berpuasa dan melakukan hal-hal positif lainnya dalam hal bertaqarrub kepada Allah, yang berguna untuk menenangkan hati dan pikirannya.

Contoh lain, pisau yang memiliki potensi untuk memotong, sama sekali tidak memiliki nilai baik dan buruk, atau pahala dan dosa. Karena tergantung pada pilihan manusia, untuk apa pisau yang ada di tangannya? Baik dan berpahala jika digunakan untuk ketaatan. Buruk dan berdosa jika digunakan untuk kemaksiatan.

Maka, pilihan-pilihan berdasarkan kesadaran akal inilah yang akan dipertanggungjawabkan nanti di akhirat, karena dengan akal dia seharusnya mampu menghukumi baik dan buruk berdasarkan pengetahuannya. 

Di era teknologi cangih ini, apakah masih ada yang tidak mengetahui mana yang baik dan buruk menurut Pencipta Semesta? Kecuali dia seorang yang jauh dari peradaban ini.

Daerah Kekuasaan sang Pencipta Alam Semesta

Area yang terakhir ini adalah area yang manusia tidak bisa sedikitpun menjangkaunya, karena ini wilayah Tuhan, yang manusia hanya memiliki sedikit pengetahuan tentangNya. Yaitu berkaitan dengan Ilmu Allah, Lauhul mahfudz, dan irodah Allah.

Pertama: Ilmu Allah, pengetahuanNya tidak menjadikan perbuatan manusia itu dipakasa untuk melakukan sesuatu, karena Allah mengetahui akan pilihan-pilihan manusia. Ilmu Allah ini bersifat Azaly atau sudah diketahui lebih dulu bahwa manusia akan melakukan pilihan-pilihan ini. 

Kedua: Lauhul Mahfudz, adalah bentuk ilmu Allah yang menggambarkan Allah mengetahui segala sesuatu yang tidak terbatas tanpa penghalang sedikit pun.

Ketiga: Iradah Allah, juga tidak memaksa perbuatan manusia untuk melakukan sesuatu, akan tetapi semua kejadian di dunia ini tidak lepas dari kehandak Allah. Dengan kata lain, jika seseorang melakukan atau memilih sesuatu, lalu tidak ada yang mencegah atau memaksa seseorang tersebut untuk melakukan atau meninggal pilihannya, maka hal itu adalah bagian dari kehendak Allah atau Iradahnya Allah.

Contoh, seseorang yang berada pada pekerjaan prostitusi, dia memilih pekerjaan itu tanpa ada yang mencegah dan menghalanginya, hal ini bukan takdir, Allah tahu pilihannya dan merupakan kehendak Allah serta akan dihisab berdasarkan pilihannya. 

Dari pembahasan Qadha dan Qadar ini, hendaknya manusia mampu memilih perbuatannya, dengan disertai pengetahuan bahwa Allah mengetahui, mengawasi dan akan menghisab amal pilihan manusia. Baik dia melakukan atau meninggalkannya, karena jika dia salah memilih amalnya maka adzab dan siksa yang akan dia terima nanti di akhirat.

Seorang mukmin yang benar keimanannya dia akan memahami konsep Qadha dan Qadar, memahami hakikat pemberian Allah yang berupa akal dan pilihan, karena dia akan merasa diawasi, takut terhadap Adzab dan siksaanNya dan berharap jannahNya, sehingga dia melakukan apa yang diperintahkan kepadanya dan meninggalkan segala laranganNya, karena tujuan amalnya hanyalah untuk mendapatkan keridhaan Pencipta.

Wa Allahu A'lamu bi Shawab


Oleh: Umm_Chaera












LihatTutupKomentar